Minggu, 27 Juni 2010

PUTRA BIMA DI PEWAYANGAN BALI

Bima (Sanskerta: भीम, bhīma) atau Bimasena (Sanskerta: भीमसेन, bhīmaséna) adalah seorang tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Kata bhīma dalam bahasa Sanskerta artinya kurang lebih adalah "mengerikan". Sedangkan nama lain Bima yaitu Wrekodara, dalam bahasa Sanskerta dieja vṛ(ri)kodara, artinya ialah "perut serigala", dan merujuk ke kegemarannya makan. Nama julukan yang lain adalah Bhimasena yang berarti panglima perang. Konon lahir dalam keadaan bungkus. Baru dapat terbuka bungkus itu setelah diinjak-injak oleh seekor gajah yang bernama Gajah Sena. Setelah keluar dari bungkus itu, Bima pun mengamuk kepada Gajah Sena yang telah menginjak-injaknya. Lalu tubuh Gajah Sena itu di injak-injak pula dan mati, lalu menyatu dalam tubuh Bima seingga menjadi kuat tiada tara. Sedangkan nama Gajah Sena menjadi pelengkap nama Bima sehingga disebut juga BIMA SENA.

Ia dianggap sebagai seorang tokoh heroik. Ia adalah putra Dewi Kunti dan dikenal sebagai tokoh Pandawa yang kuat, bersifat selalu kasar, tegas dan menakutkan bagi musuh-musuhnya, walaupun sebenarnya hatinya lembut. Ia merupakan keluarga Pandawa di urutan yang kedua, dari lima bersaudara. Dalam wiracarita Mahabharata diceritakan bahwa karena Pandu tidak dapat membuat keturunan (akibat kutukan dari seorang resi di hutan), maka Kunti (istri Pandu) berseru kepada Bayu, dewa angin. Dari hubungan Kunti dengan Bayu, lahirlah Bima. Atas anugerah dari Bayu, Bima akan menjadi orang yang paling kuat dan penuh dengan kasih sayang.

Bima tinggal di kadipaten Jodipati, wilayah Indraprastha. Ia mempunyai tiga orang isteri dan 3 orang anak, yaitu:

  1. Dewi Nagagini, berputera (mempunyai putera bernama) Arya Anantareja,
  2. Dewi Arimbi, berputera Raden Gatotkaca dan
  3. Dewi Urangayu, berputera Arya Anantasena.

Menurut versi Banyumas, Bima mempunyai satu istri lagi, yaitu Dewi Rekatawati, berputera Srenggini. Dalam pewayangan versi Surakarta, Antasena dan Antereja merupakan satu tokoh, sedangkan menurut versi Yogyakarta, keduanya merupakan tokoh yang berbeda. Lebih ke barat, yaitu dalam wayang golek Sunda, Antasena disebut juga Jakatawang.

Sementara itu di Bali Utara, Putra Bima selain Antareja, Gatotkaca dan Antasena juga mempunyai satu anak lagi dengan nama Windu Segara dari istri yang bernama Mina Lodra. Sedangkan menurut Bali Selatan, Windu Segara sama dengan Antareja.


Salam Dunia Wayang
Tommy Johan Agusta

Kamis, 10 Juni 2010

Profil : I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M. Hum

I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M. Hum, lahir di Geria Tengah, Desa Batununggul, Kecamatan Nusa Penida, Klungkung, Bali pada tanggal 22 Januari 1964. Sejak berusia 10 tahun ia menekuni kesenian terutama menabuh gender wayang. Belajar dari kakak kandung untuk mengikuti ayah mendalang wayang kulit di seputar wilayah Nusa Penida.

Selain berasal dari keluarga pedalangan, ia juga menggali ilmu di :

  1. ASTI Denpasar untuk menyelesaikan Sarjana Muda (BA) tahun 1986 dengan skripsi “Kekayon Wayang Kulit Parwa di Desa Sukawati Gianyar”
  2. Gelar Sarjana Seni Pedalangan (SSP) diperoleh di STSI (sekarang ISI Denpasar) tahun 1989 dengan skripsi “Pakeliran Wayang Berkembang, Anugerah”, duet bersama I Ketut Kodi, SSP
  3. Pada bulan September 1994, mengikuti Program Pasca Sarjana (S2) Kajian Seni Pertunjukkan, jurusan Ilmu-ilmu Humaniora di UGM Yogyakarta, dan diselesaikan tahun 1997 dengan gelar Magister Humaniora (M. Hum), tesis yang diangkat adalah “Wayang Sapuh Leger, Fungsi dan Maknanya dalam Masyarakat Bali”


Sebagai akademisi di almamaternya, yaitu ISI Denpasar Fakultas Seni Pertunjukkan Jurusan Pedalangan, ia menduduki jabatan Pambantu Dekan I. Berbagai jurnal ilmiah tentang wayang dan pedalangan telah ia tulis yang dapat diperoleh di Perpustakaan Fakultas dan ISI Denpasar.

Sebagai seniman, berkesempatan pula mengikuti misi kesenian ke Jepang (1990, 1993, 1995), Kapal Pesiar Jepang “Asuka” (1992), Taiwan (1998), dan Switzerland (2001). Pernah mendalang di luar Bali yaitu di Yogyakarta, Lampung, Sumbawa, dan Surakarta.

(dikutip dari buku Wayang Sapuh Leger) karya I Dewa Ketut Wicaksana


Perkenalan saya dengannya adalah bermula ketertarikan terhadap pewayangan Bali yang memang sangat sulit untuk diperoleh referensinya. Berbagai toko buku dan perpustakaan ternyata sulit mendapatkannya. Lalu secara tidak sengaja mendapatkan buku Wayang Sapuh Leger di Toko Buku Garuda Wisnu Jl Teuku Umar, Denpasar. Setelah saya baca hingga tuntas, lalu ketertarikan ini pun bertambah dan dengan sedikit menghindar dari rasa malu saya mendapatkan nomor handphone-nya dari Tata Usaha ISI Denpasar. Setelah kontak untuk yang pertama kalinya, lalu saya kunjungi ke tempat dimana ia mengajar dan setelah bertemu semakin akrab karena pribadinya sangat menyenangkan.


Untuk selanjutnya diskusi kami semakin intens dan ternyata mengapa buku wayang bali langka jawaban darinya adalah karena orang bali tidak ada kesempatan untuk menulisnya, jika ada itu pun hanya berkembang di seputar akademik berupa jurnal dan tulisan ilmiah. Tunggu sajalah apa yang kuperbuat dengannya nanti...


Tommy Johan Agusta

Denpasar, 11 Juni 2010